Marga dalam SK Gubernur No 142/KPTS/III/1983

Oleh :

  • H. Albar Sentosa Subari, SH,.SU (Ketua Pembina Adat Sumatera Selatan / Peneliti Hukum Adat Indonesia)
  • Marsal, S.Ag (Penghulu Kecamatan Muara Enim / Pemerhati Hukum Adat)

Pasal II Aturan Peralihan Undang Undang Dasar 1945 (asli) , dalam teori ilmu hukum adalah pasal peralihan yang berfungsi untuk menghindari kekosongan hukum.
Pasal tersebut berbunyi : segala badan negara dan peraturan perundang undangan tetap berlaku selama belum diadakan yang baru.

Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dan ditetapkannya Undang Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Salah satu pasal yang menyangkut masalah Marga adalah ketentuan yang diatur oleh Inlandsche Gemeente Ordonansi, untuk keresidenan Palembang dimuat dalam stbld 1919 nomor 814,disempurnakan dengan stbld 1922 nomor 436.

Realisasi penyeragaman pemerintah di tanah air dimulai dengan keluarnya Undang Undang tentang pokok pokok pemerintahan daerah UU 22 tahun 1948, menyusul UU No. 1 tahun 1957 dan lahir pula UU No. 19 tahun 1965 tentang Desapraja. Namun sejak itubelum ada turunanperaturan pelaksanaan nya. Hingga Marga menjadi terkatung katung.

Baru tahun 1979 keluarlah Undang Undang  Nomor 5 tahun 1979 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Di Daerah. Dimana UU 5 tahun 1979 ini menjadikan Desa sebagai pemerintahan terendah di bawah camat.

Melalui Surat Keputusan Gubernur Sumsel Nomor 142/KPTS/III/1983: menghapuskan Marga dalam arti Pemerintahan. Namun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat tetap diakui (diatur dalam butir ketiga keputusan tersebut) dan ditindak lanjuti dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumsel Nomor 12 tahun 1988 dengan sebutan Lembaga Adat. Maka sejak itu istilah Marga sebagaj kesatuan masyarakat hukum adat disebut lembaga adat.

Pada tahun 1999 keluarlah Undang Undang Nomor 22 tahun 1999. Undang Undang nomor 22 /1999 ini merubah sistem pemerintahan di desa dari sistem sentralistik ke desentralistik. Artinya pengaturan mengenai desa ada pada tingkat Kabupaten / Kota, terbukti lahirnya Badan Perwakilan Desa.

Sistem desentralisasi ini tetap dipertahankan sampai lahirnya Undang Undang Pemerintahan di Daerah sampai kini. Perubahan sistem pemerintahan tersebut tentu tidak terlepas dari runtuhnya orde baru pindah orde reformasi. Yang ditandai secara konstitusi dengan diamendemennya Undang Undang Dasar 1945 sampai empat kali. Yang tentunya masih banyak persoalan yang belum selesai sempurna.

Berkait dengan kesatuan masyarakat hukum adat, secara konstitusi sudah diatur secara jelas oleh Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 dimana negara mengakui kesatuan kesatuan masyarakat adat beserta hak hak tradisional nya (tentu dengan memenuhi 4 persyaratan nya).

Sayangnya aturan turunan dari ketentuan ini belum terujud yaitu dalam bentuk Undang Undang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Perjuangan untuk mewujudkan cita-cita ini sudah dimulai sejak tahun 2006 saat pidato Presiden Republik Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah saat memperingati hari masyarakat hukum adat sedunia.

Penulis sempat hadir pada acara tersebut sebagai Pemangku Adat Sumsel. Dimana seluruh pemangku adat se Indonesia diundang untuk hadir. Mudah mudahan penantian itu dapat terwujud segera yang menurut informasi sudah ada di DPR RI. (***)

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Tinggalkan Balasan