Budaya membaca merupakan kunci utama guna meningkatkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Budaya membaca adalah kegiatan positif yang dilakukan untuk melatih otak dan menyerap segala informasi yang terbaik untuk diterima seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Sutarno (2006: 27), dalam (https://eprints.uns.ac.id/11141/1/295-1556-2-PBpdf diakses tanggal 10 Oktober 2016 bahwa budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan.
Seorang yang mempunyai budaya baca adalah apabila orang tersebut telah terbiasa dan berproses dalam waktu yang lama di dalam hidupnya selalu menggunakan sebagian waktunya untuk membaca. Budaya Membaca di kalangan pelajar merupakan satu hal yang amat penting. Hal ini juga sangat esensial karena membaca akan membantu perkembangan pola pikir serta kepribadian mereka.
Selain itu, budaya membaca juga mencerminkan rasa suka dengan ilmu, karena salah satu sarana yang sangat menunjang tercapainya suatu pendidikan juga dipengaruhi dari Budaya Membaca yang ada. Namun, jika diperhatikan bahwa Budaya membaca khususnya para pelajar di Indonesia belum menjadikan budaya membaca tersebut menjadi bagian kehidupan sehari-hari.
Budaya membaca belum menjadi prioritas untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan informasi baru. Budaya membaca hanya menjadi kebutuhan pelengkap dan belum dijadikan sebuah tradisi. Hal ini terlihat dari minimnya kebiasaan pelajar dalam membaca diperpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah, baik itu dalam membaca buku-buku pelajaran, artikel, majalah maupun surat kabar. Mereka cenderung lebih meminati budaya menonton melalui media televisi. Padahal, tayangan yang ada di televisi memuat hal-hal yang kurang baik dan tidak mendidik untuk ditonton, mulai dari perilaku kurangnya sopan santun, kekerasan, hedonistic dan perilaku negatif lainnya sehingga dapat membentuk pendidikan karakter bangsa ini menjadi keliru.
Rendahnya budaya baca pelajar di Indonesia dilaporan oleh Bank Dunia No. 16369-IND, dan Studi IEA (International Association for the Evalution of Education Achievermen) di Asia Timur, tingkat terendah membaca anak-anak di pegang oleh negara Indonesia. Kajian PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yg disponsori oleh IEA ini menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Kajian PIRLS ini menempatkan siswa Indonesia kelas IV Sekolah Dasar pada tingkat terendah di kawasan Asia. Indonesia dengan skor 51.7, di bawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5).
Bukan itu saja, kemampuan anak-anak Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, yaitu 30 persen saja dari materi bacaan karena mereka mengalami kesulitan dalam menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman dan penalaran. Studi internasional mengenai literasi membaca yang dilakukan OECD (Organization for Economic Co-operation Development) bisa dijadikan cermin peta kemampuan literasi siswa Indonesia dibandingkan siswa lain seusia mereka di tataran internasional.
OECD sendiri mencoba memetakan profil literasi membaca pelajar dalam ruang lingkup internasional melalui kajian PISA (Programme for International Student Assessment). PISA adalah studi literasi yang bertujuan untuk meneliti secara berkala tentang kemampuan pelajar usia 15 tahun (kelas III SMP dan kelas I SMA) dalam membaca (reading literacy), matematika (mathematics literacy), dan sains (scientific literacy).
Studi PISA melaporkan bahwa 25% 34% dari pelajar Indonesia masuk dalam tingkat literasi-1. Artinya, sebagian besar pelajar kita masih memiliki kemampuan membaca pada taraf belajar membaca. Pelajar pada tingkat literasi-1 hanya mampu untuk membaca teks yang paling sederhana, seperti menemukan informasi yang ada di dalam bacaan sederhana, mengidentifikasi tema utama suatu teks atau menghubungkan informasi sederhana dengan pengetahuan sehari-hari.
Sedangkan untuk taraf tingkat literasi-5, kurang dari 1% pelajar Indonesia berada pada taraf tertinggi dari studi PISA ini. Artinya, hanya sedikit dari pelajar kita memiliki kemampuan membaca yang canggih, seperti menemukan informasi yang rumit dalam teks yang tidak dikenal sebelumnya, mempertunjukkan pemahaman yang terperinci, menarik kesimpulan dari informasi yang ada di dalam teks, dan mengevaluasi dengan kritis, membangun hipotesis, serta mengemukakan konsep yang mungkin bertentangan dengan harapannya sendiri (http://yuniunisma.blogspot.co.id/2011/09/menumbuhkembangkan-minat-baca-menuju.html diakses tanggal 12 Oktober 2016).
Data lain juga menyebutkan, dalam dokumen UNDP dalam Human Development Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0 persen.
Dengan kondisi seperti itu, maka tidak heran bila kualitas pendidikan di Indonesia juga buruk. Dalam hal pendidikan, survei The Political and Economic Risk Country (PERC), sebuah lembaga konsultan di Singapura, pada akhir 2001, menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia yang diteliti.
Hasil survey lembaga underbouw Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), UNESCO (United Nation Education Society and Cultural Organization), juga menemukan fakta minat baca masyarakat Indonesia betul-betul rendah, bahkan paling rendah di Asia. Berdasarkan data tersebut, minat baca masyarakat Indonesia khususnya di kawasan Asia Tenggara saja menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura (http://www.cybermq.com diakses tanggal 15 Oktober 2016).
Beberapa faktor penyebab rendahnya budaya baca pelajar di Indonesia, yaitu dikarenakan sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat pelajar harus membaca buku, mencari informasi/ pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, mengapresiasi karya-karya ilmiah, sastra, dan lain-lain. Banyaknya tempat hiburan dan jenis hiburan, permainan, dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian mereka dari membaca buku. Sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka serta penyebarannya pun belum merata.
Rendahnya budaya baca dikalangan pelajar juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti tidak punya waktu untuk membaca/berkunjung ke perpustakaan, Kurang tertarik ke perpustakaan dikarenakan mutu koleksinya yang kurang memadai· Ketidak tahuan tentang koleksi perpustakaan. Pelayanan yang kurang baik atau kondisi dan situasi yang kurang menyenangkan.
Berbagai rujukan di atas memberikan suatu hipotesis bahwa budaya membaca pelajar masih rendah. Sementara itu, infrastruktur yang mengkondisikan agar budaya baca tumbuh dan berkembang. Maka, perlu upaya-upaya yang dilakukan agar budaya baca dapat tumbuh sejak anak usia sekolah atau bahkan sejak dini.
Untuk menjadikan membaca sebagai sebuah budaya (kebiasaan), sekolah perlu merancang strategi atau cara-cara tertentu seperti dikutip http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00M3T4.pdf pada tanggal 4 November 2016 dan berdasarkan pengamatan penulis yakni setelah siswa dikondisikan oleh guru mereka masing-masing di dalam kelas mereka masing masing maka setiap pelajar diminta untuk hening sejenak selama 15 menit seperti kelas kosong. Para pelajar diminta untuk membaca buku, majalah, artikel maupun surat kabar atau cerita yang menarik.
Semua pelajar harus terlibat dalam kegiatan hening membaca yang dilaksanakan mulai kelas X sampai kelas XII, yaitu 15 menit sebelum pembelajaran. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:Di setiap kelas disediakan buku bacaan, majalah, artikel atau cerita pendek yang berasal dari perpustakaan atau sumber lain yang tidak mengikat dan disimpan di kelas mereka masing-masing. Setiap hari pelajar tersebut membaca buku dan bahan bacaan lain sesuai minat pelajar tersebut selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Jika sudah selesai bacaan tersebut bisa ditukar dengan temannya; Bahan bacaan yang sudah selesai dibaca dibuat resume.
Salah seorang pelajar diminta membacakan cerita yang sudah dibacanya di depan kelas. Diusahakan 1 bulan sekali adanya pergantian buku atau bahan bacaan yang sudah dibaca untuk mencegah kebosanan pelajar dalam membaca bahan bacaan tersebut. Minimal 1 semester sekali diadakan perlombaan membuat bahan bacaan kelas sehingga setiap pelajar bertanggung jawab terhadap keberlangsungan perpustakaan kelasnya masing-masing. Sekolah juga bisa mengadakan lomba 1 semester sekali pada saat class meeting dengan membuat resume, majalah dinding dan lomba story telling dengan tema kebudayaan daerah.
Disamping hal-hal tersebut di atas maka unsur yang penting dalam menghidupkan budaya baca melalui peran orang tua. Karena keberadaan orang tua adalah pertama dan utama dalam proses pendidikan anak berlangsung. Oleh karena itu orang tua harus menciptakan kondisi membaca dan menyediakan bahan bacaan yang menarik. Untuk orangtua sebaiknya menetapkan jam wajib baca dirumah dimana tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak di tengah kesibukan di luar rumah harus menyempatkan waktu untuk membaca dikarenakan budaya baca banyak dipengaruhi oleh teladan orangtua.
Jika suasana keluarga (rumah) diciptakan sebagai “sekolah yang hidup” akan sangat membantu sekolah sebagai rumah kedua anak-anak belajar. Kedua, sekolah. Sekolah juga mempunyai peranan sangat penting untuk membudayakan minat baca pelajar, dengan mengadakan lomba minat baca, memilih pelajar teladan membaca buku terbanyak, menjalin kerjasama antarperpustakaan sekolah dalam promosi membaca, memberi tugas membaca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaan, menciptakan permainan-permainan yang mempromosikan minat baca, menceritakan orang-orang sukses sebagai hasil bacaan, menugaskan pelajar untuk menyusun abstrak atau sinopsis dari buku-buku yang dibaca, menerbitkan majalah dinding, menyelengarakan jam cerita (story telling) kepada para pelajar secara periodik dan sebagainya; Ketiga, Pemerintah.
Pemerintah menyediakan bahan bacaan yang murah bagi sekolah-sekolah atau menyediakan bahan bacaan di kantor desa, kecamatan, kantor bupati, sampai kepada kantor-kantor dinas pemerintah, sehingga pada waktu senggang orang-orang yang sedang menunggu pelayanan pemerintah bisa menggunakan waktu untuk membaca; Keempat, tempat wisata. Tempat-tempat wisata seperti, kebun binatang, wisata pantai, wisata hutan atau tempat wisata lainnya, harus menyediakan gubuk bacaan bagi para pelajar, paling tidak informasi mengenai jenis-jenis margasatwa atau jenis biota laut ataupun jenis tanaman. Demikian juga mall, sebagai wista alternatif di kota, diharapkan disediakan pojok-pojok bacaan para siswa, sehingga pelajar selepas berbelanja bisa membaca di pojok tersebut. (http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?view=v_artikel&id=8 diakses tanggal 2 november 2016)
No Responses